Saturday, July 28, 2018

Espresso

Dalam suhu yang telah mendidih
dan tak tertahan lagi
Kita tuangkan setakar air
ke dalam setakar malam
     Seketika itu pula kita mulai berpalun
     membelitkan hati yang gerun
     Lalu kita larut dalam subuh yang lain
     mengusir kantuk dalam dingin yang lain

sdj, 280718

Pukul Tujuh Pagi Lebih Lima Ratus Meter

Derap langkah kaki para prajurit
mungkin tak akan berhenti di tepi kota
Bayonet. Laras senapan. Degup jantung.
Klakson mobil. Kokok ayam jantan.
Aspal jalan raya berkertak menanggung
jejak-jejak para pendosa, yang tiba-tiba
berbelok pada pertigaan lima ratus meter
kemudian di depan ujung gang

Tunggu dan hitunglah, wahai pemeram amarah!
Lima menit lagi alarm pada telepon genggamku
akan berdering, berteriak nyaring
Lalu, tepat pada saat itu,
silahkanlah melepaskan tembakan peluru dari senapan mu
ke arah segala penjuru. Kota.
Saat ini tepat pukul tujuh pagi, dan udara telah bercampur
dengan aroma bubuk mesiu
Tumpat padat pada pori-pori gedung-gedung tua
Seperti penjaja kaki lima,
yang barusan saja menggelar dagangan nya
     Maukah engkau memesankan untukku
     secangkir kopi toraja?

Dalam kepulan asap yang tak henti-henti itu,
aku tak dapat membedakan antara;
aroma wangi kopi atau bubuk mesiu?
Mungkin saja di dalam mulutku kini tumbuh
sebuah lidah besi anti peluru
Dan kini aku tengah belajar mencecap
secangkir penuh kalimat palsu
yang mendidih menggelembung menghangatkan pagi
     Namun bagaimana caranya aku dapat
     mematahkan pepatah itu?
     Memang lidah tak bertulang bukan?

Pukul tujuh pagi lebih lima ratus meter
telah berapa lama aku terbangun

sdj, 280718