Friday, August 23, 2013

Ode Bagi Penyair

/1/
Kau masih berdiri, sayang
menatap se bait puisi
Dalam sebuah kamar, sebuah bayang
Kau mengarsir ruang. Sepi.

"Bukankah kau telah pergi ?" kau bertanya padaku
"Kapan kau datang ? Aku sudah terjaga" jawabku
Lalu kita bersama - sama menempelkan malam
di halaman ke berapa buku itu
Kau ragu - ragu, sebab malam
tak terbiasa menjemputmu dan kedua belah tanganmu

/2/
Kau telah tidur. Tidak
barangkali kau hanya sedang tepekur
aku hampir saja merobek halaman itu
saat mendengarmu mendengkur

Aku melanjutkan diri
tetirah di sehalaman puisi
memanjatkan doa sebagaimana mestinya
Supaya nanti semesta berdongeng cerita
tentang si kancil dan penyair

/3/
"Engkau tak sedang melirik waktu, kan ?"
tiba - tiba kau bertanya padaku. Kau begitu
mencintai waktu, sayang. Aku tahu.
Lalu, kata apa yang paling kau benci ?
yang kau tak mau jadikan puisi
Aku memilih diam
Suasana yang kelam

Halaman buku semakin gelap seperti malam
Lalu, maukah kau menuliskan
kata itu di penghujung puisimu ?

kemudian,

kbm, 220813

Thursday, August 15, 2013

Obituari Cangkir Kopi

Ketel uap abu - abu telah berbunyi
Berasap – asap
Kita berjanji kepada sore untuk menyeduh secangkir kopi.
Lalu bercerita tentang sejarah api kepada
dapur yang hangat.

Kau menemaniku sore itu
Menatapku begitu dalam. Seperti sebuah buku cerita
Kemudian aku mulai membacamu.
Gelap dan hangat.
Dan akupun begitu larut, jatuh hanyut
dalam setiap sesap yang ku hirup sendiri,
Tenggelam sendiri.

Dapur masih senantiasa hangat
saat sore mulai lelap. Ketel uap telah tidur
kau masih tersisa sebagian hanya.
Sejarah api tak pernah dapat pergi.
Biru seperti asap tebal masa lalu
Menyusuri waktu
Lalu, dari dasar cangkir itu kau memanggilku:
“hei, mari terlelap disini”

Jauh di dasar cangkir,
Aku mulai menghitam.
Aku mulai pekat.

kbm, 160713

Minggu

Telah begitu jauh menyelam
Aku menyusur ke dasar malam
Jauh lebih dalam
Warna – warna kelam
Sejarah hijau pualam

Aku bahkan tak mengetahui
Ini hari telah pagi
Lalu kapan aku bertemu kantuk ?
Permulaan yang abadi

smg, 080613

Kabut

Rintik jam pasir adalah kesunyian paling lindap
Suara hujan gemercik berhamburan
Desau desir angin gemersik kehampaan
Jadilah asap.

Engkau selimut tebal bagi malam
Aku kabut tipis dingin melingkar

smg, 2013

Bayangan

Kita berjalan berdua
Di sebuah kota, di tepi stasiun, ditengah taman
Dengan telanjang kaki, menyusuri setapak sunyi
Malam yang lelah mengejar detak sendiri
“kita berangkat pukul 2 nanti”, katamu

Mari singgah ke menara itu,
menara waktu
Lalu kembalikan beberapa detik yang telah
kita curi kemarin hari
Sebelum roda – rodanya sempat berputar lagi,
Dan kita terlambat menghitung nyala lampunya
yang menghilang begitu lekas
Dalam sebuah sepi.

Sudah waktunya kita pergi
Ku biarkan kau berjalan sendiri
menuju bayangan yang lain di ujung lorong itu
Sedang aku, menunggu pintu
bagi kekasihku

smg, 240513

Dalam Sebuah Kamar

Pintu itu terbuka
kau masuk bersama angin
kedalam sunyi
sepi yang terjebak di sebuah almari
sejak kapan kau belajar membaca ?

Matamu melihat ke arah jendela
menatap kaca atau meratapi cuaca ?
akan sederas apa hujan pagi nanti ?
kau tak pernah punya arah yang pasti

Betapa berbatu jalan yang harus kau lewati
menuju kantuk dan mimpi
seolah pembaringanmu adalah hamparan duri
hingga kau tersedak
waktu berdetak
nyala lampu temaram, menyelami malam

Pintu itu menutup kembali
engkau tertinggal, angin berlalu pergi
dingin yang sama masih terasa, di dinding kamar
di pagi yang samar
dinding yang pucat dan sepi
seperti mimpi
seperti puisi

kbm, 190413