Aku mendengar
Bumi telah mendengkur
Tanah terlelap
Di atas sana langit gemerlap
Aku merasakan. Dari kulitku yang dingin
Pepohon berkidung syair desau angin
Lalu aku lihat
Semesta telah tetirah
Meniup terbang segala lelah
Dari telingaku,
Dari kulitku,
Dari mataku,
Alam pamit tidur
Segala yang hidup tertidur
Semoga berjumpa esok, Pagi!
Kbm, 171013
bahasa ini disusun, sebagai pengingat bagi kedua kaki tentang peta menuju rumah; bentang pemandangan yang akrab kukenal
Thursday, October 17, 2013
Tuesday, September 17, 2013
Balada Abu
Aku berharap aku bisa menangis
pecah bagai ombak berderu
namun lenyap seperti lesau angin
atau asap
Aku tak ingin berbalik arah
atau menengok sekilas ke belakang
memandang sekilah pandang
tapi tak dapat
Api membakar seluruh ruang
api maha biru
namun kau tak lebih berharga dari kenangan
yang abu
dan saat membara, moksa jelaga
hitam pekat
bagai awan engkau
jadi hujan
dan kini
tak lagi sisa
sia - sia
mendung semata
kbm, 170913
pecah bagai ombak berderu
namun lenyap seperti lesau angin
atau asap
Aku tak ingin berbalik arah
atau menengok sekilas ke belakang
memandang sekilah pandang
tapi tak dapat
Api membakar seluruh ruang
api maha biru
namun kau tak lebih berharga dari kenangan
yang abu
dan saat membara, moksa jelaga
hitam pekat
bagai awan engkau
jadi hujan
dan kini
tak lagi sisa
sia - sia
mendung semata
kbm, 170913
Friday, August 23, 2013
Ode Bagi Penyair
/1/
Kau masih berdiri, sayang
menatap se bait puisi
Dalam sebuah kamar, sebuah bayang
Kau mengarsir ruang. Sepi.
"Bukankah kau telah pergi ?" kau bertanya padaku
"Kapan kau datang ? Aku sudah terjaga" jawabku
Lalu kita bersama - sama menempelkan malam
di halaman ke berapa buku itu
Kau ragu - ragu, sebab malam
tak terbiasa menjemputmu dan kedua belah tanganmu
/2/
Kau telah tidur. Tidak
barangkali kau hanya sedang tepekur
aku hampir saja merobek halaman itu
saat mendengarmu mendengkur
Aku melanjutkan diri
tetirah di sehalaman puisi
memanjatkan doa sebagaimana mestinya
Supaya nanti semesta berdongeng cerita
tentang si kancil dan penyair
/3/
"Engkau tak sedang melirik waktu, kan ?"
tiba - tiba kau bertanya padaku. Kau begitu
mencintai waktu, sayang. Aku tahu.
Lalu, kata apa yang paling kau benci ?
yang kau tak mau jadikan puisi
Aku memilih diam
Suasana yang kelam
Halaman buku semakin gelap seperti malam
Lalu, maukah kau menuliskan
kata itu di penghujung puisimu ?
kemudian,
kbm, 220813
Kau masih berdiri, sayang
menatap se bait puisi
Dalam sebuah kamar, sebuah bayang
Kau mengarsir ruang. Sepi.
"Bukankah kau telah pergi ?" kau bertanya padaku
"Kapan kau datang ? Aku sudah terjaga" jawabku
Lalu kita bersama - sama menempelkan malam
di halaman ke berapa buku itu
Kau ragu - ragu, sebab malam
tak terbiasa menjemputmu dan kedua belah tanganmu
/2/
Kau telah tidur. Tidak
barangkali kau hanya sedang tepekur
aku hampir saja merobek halaman itu
saat mendengarmu mendengkur
Aku melanjutkan diri
tetirah di sehalaman puisi
memanjatkan doa sebagaimana mestinya
Supaya nanti semesta berdongeng cerita
tentang si kancil dan penyair
/3/
"Engkau tak sedang melirik waktu, kan ?"
tiba - tiba kau bertanya padaku. Kau begitu
mencintai waktu, sayang. Aku tahu.
Lalu, kata apa yang paling kau benci ?
yang kau tak mau jadikan puisi
Aku memilih diam
Suasana yang kelam
Halaman buku semakin gelap seperti malam
Lalu, maukah kau menuliskan
kata itu di penghujung puisimu ?
kemudian,
kbm, 220813
Thursday, August 15, 2013
Obituari Cangkir Kopi
Ketel uap abu - abu telah berbunyi
Kita berjanji kepada sore untuk menyeduh
secangkir kopi.
Lalu bercerita tentang sejarah api kepada
dapur yang hangat.
Kau menemaniku sore itu
Menatapku begitu dalam. Seperti sebuah
buku cerita
Kemudian aku mulai membacamu.
Gelap dan hangat.
Dan akupun begitu larut, jatuh hanyut
dalam setiap sesap yang ku hirup sendiri,
Tenggelam sendiri.
Dapur masih senantiasa hangat
saat sore mulai lelap. Ketel uap telah
tidur
kau masih tersisa sebagian hanya.
Sejarah api tak pernah dapat pergi.
Biru seperti asap tebal masa lalu
Menyusuri waktu
Lalu, dari dasar cangkir itu kau memanggilku:
“hei, mari terlelap disini”
Jauh di dasar cangkir,
Aku mulai menghitam.
Aku mulai pekat.
kbm, 160713
kbm, 160713
Minggu
Telah begitu jauh menyelam
Aku menyusur ke dasar malam
Aku menyusur ke dasar malam
Jauh lebih dalam
Warna – warna kelam
Sejarah hijau pualam
Aku bahkan tak mengetahui
Ini hari telah pagi
Lalu kapan aku bertemu kantuk ?
Permulaan yang abadi
smg, 080613
smg, 080613
Kabut
Rintik jam pasir adalah kesunyian paling lindap
smg, 2013
Suara hujan gemercik berhamburan
Desau desir angin gemersik kehampaan
Jadilah asap.
Engkau selimut tebal bagi malam
Aku kabut tipis dingin melingkarsmg, 2013
Bayangan
Kita berjalan berdua
Di sebuah kota, di tepi stasiun, ditengah taman
Dengan telanjang kaki, menyusuri setapak sunyi
Malam yang lelah mengejar detak sendiri
“kita berangkat pukul 2 nanti”, katamu
Mari singgah ke menara itu,
menara waktu
Lalu kembalikan beberapa detik yang telah
kita curi kemarin hari
Sebelum roda – rodanya sempat berputar lagi,
Dan kita terlambat menghitung nyala lampunya
yang menghilang begitu lekas
Dalam sebuah sepi.
Sudah waktunya kita pergi
Ku biarkan kau berjalan sendiri
menuju bayangan yang lain di ujung lorong itu
Sedang aku, menunggu pintu
bagi kekasihku
smg, 240513
smg, 240513
Dalam Sebuah Kamar
Pintu itu terbuka
kau masuk bersama angin
kedalam sunyi
sepi yang terjebak di sebuah almari
sejak kapan kau belajar membaca ?
Matamu melihat ke arah jendela
menatap kaca atau meratapi cuaca ?
akan sederas apa hujan pagi nanti ?
kau tak pernah punya arah yang pasti
Betapa berbatu jalan yang harus kau lewati
menuju kantuk dan mimpi
seolah pembaringanmu adalah hamparan duri
hingga kau tersedak
waktu berdetak
nyala lampu temaram, menyelami malam
Pintu itu menutup kembali
engkau tertinggal, angin berlalu pergi
dingin yang sama masih terasa, di dinding kamar
di pagi yang samar
dinding yang pucat dan sepi
seperti mimpi
seperti puisi
kbm, 190413
kbm, 190413
Subscribe to:
Posts (Atom)