Sudahkah kau menemukan bumi ?
Sudahkah kau tancap mantapkan pijak kaki ?
Hari ini 19 putar usia rotasi.
19 putar alur musim berubah ganti.
Dan sudahkah kau benar - benar melahirkan pagi ?
Aku dulu mengenal mentary.
Mengenali sinar mata yang terbit di ujung subuh.
Ujung sinar api yang begitu jauh.
Dan setiap pagi yang dimulai dari sinar matanya,
menjelma hari yang terang utuh sempurna.
Dan setiap hari yang diterangi merah cahaya galuh,
menjadi deret sorot emas sore penuh,
tempat istirah semua gaduh.
Saat sore pergi lalu malam menggelar gelap hari,
aku tak tahu kemana engkau mentary sembunyi.
Hingga berapa lama ingatan - ingatan ku mulai mencari,
sesap - sesap sepi, sulur - sulur waktu yang mati
Menunggumu mengupas lembar - lembar kulit gelap,
adalah serenade malam paling lelap
( selelap malam yang membangun para mimpi )
Sudahkah kau benar - benar melahirkan pagi ?
Sudahkah kau mengembunkan udara malam hari ?
Malam ini 19 putar masa rotasi.
19 rotasi telah engkau bersinar berdiri.
Sampai habis lelangit terlerap,
berhenti menderap.
selamat berputar kembali, mentary !
kbm, 030709
00.34
hppy brthdy mntry..
bahasa ini disusun, sebagai pengingat bagi kedua kaki tentang peta menuju rumah; bentang pemandangan yang akrab kukenal
Friday, July 3, 2009
Thursday, July 2, 2009
Mentary #2
Embun selalu berhasil dilahirkan pagi oleh mentary
Namun nafas angin kemudian melarutkannya dalam kerat tanah
Terlalu singkat riwayat hidup embun – embun mentary
Alur harilah yang menjaganya tak pernah musnah
Rajin sekali mentary menyapa lelangit selepas malam mati
Yang dikafani dingin atmosfernya sendiri
Yaitu dingin yang mencapai lindap kulitku
Usia angin yang begitu renta serta sisa – sisa pepat udara
Lemas seperti ingatan masa lalu yang amat mampat
Ingatan – ingatan tentang mentary yang masih saja tersimpan rapat
Asap – asap memori yang menguarkan aroma
Namun bukan luka atau relikui cahaya
Apalagi ? hanya ingatan dan malam yang mati
Akar – akar ingatan mentary membangun pagi
Rekaman mimpi
Yang larut dalam dingin atmosfernya sendiri
Cuaca yang lemas, lelangit yang hitam lekas
Oh, bumi butuh engkau mentary !
Kbm, 020709
22.54
Namun nafas angin kemudian melarutkannya dalam kerat tanah
Terlalu singkat riwayat hidup embun – embun mentary
Alur harilah yang menjaganya tak pernah musnah
Rajin sekali mentary menyapa lelangit selepas malam mati
Yang dikafani dingin atmosfernya sendiri
Yaitu dingin yang mencapai lindap kulitku
Usia angin yang begitu renta serta sisa – sisa pepat udara
Lemas seperti ingatan masa lalu yang amat mampat
Ingatan – ingatan tentang mentary yang masih saja tersimpan rapat
Asap – asap memori yang menguarkan aroma
Namun bukan luka atau relikui cahaya
Apalagi ? hanya ingatan dan malam yang mati
Akar – akar ingatan mentary membangun pagi
Rekaman mimpi
Yang larut dalam dingin atmosfernya sendiri
Cuaca yang lemas, lelangit yang hitam lekas
Oh, bumi butuh engkau mentary !
Kbm, 020709
22.54
Tuesday, April 28, 2009
mentary
:eya
Engkau baru saja datang sebagai kenangan
Namun sebentar lagi kenangan yang akan melukismu
Tepat pada tinggi titikmu yang sewarna semu
Antara arah angin mata serta sebidang bukit di punggungmu
Ratusan katakata kemudian berjatuhan saja di baris jemari kakikaki pagi
Yang telah renta terbang tertiup dan beterbangan
Yang terlihat dari sebalik dedaun adalah rambutmu
Untaian hitam seluruh ingatan-ingatan tentang malam
Lahir masa depan yang jauh dari dedaun-dedaun ingatan malam
Ingatan juga menciptakan kota di tepi uraian rambutmu
Agar bisa kita singgahi bangku taman sekolah kita yang dulu
Nun kosong setelah engkau berlari membelakangi waktu
Alur siur di balik bukit punggungmu ( adalah waktu )
Alur siur itu membawamu pergi menjelma mentary
Rumah bagi setiap cuaca dan semua pagi yang lewat
Yang jemari kakikakinya masih saja menuliskan masa lalu dan ingat
Celah-celah renta di titik tinggi tepi pagi tertulis :
: Ooh, aku memang tak mau melupakan mentary
kbm,160509
21.39
Engkau baru saja datang sebagai kenangan
Namun sebentar lagi kenangan yang akan melukismu
Tepat pada tinggi titikmu yang sewarna semu
Antara arah angin mata serta sebidang bukit di punggungmu
Ratusan katakata kemudian berjatuhan saja di baris jemari kakikaki pagi
Yang telah renta terbang tertiup dan beterbangan
Yang terlihat dari sebalik dedaun adalah rambutmu
Untaian hitam seluruh ingatan-ingatan tentang malam
Lahir masa depan yang jauh dari dedaun-dedaun ingatan malam
Ingatan juga menciptakan kota di tepi uraian rambutmu
Agar bisa kita singgahi bangku taman sekolah kita yang dulu
Nun kosong setelah engkau berlari membelakangi waktu
Alur siur di balik bukit punggungmu ( adalah waktu )
Alur siur itu membawamu pergi menjelma mentary
Rumah bagi setiap cuaca dan semua pagi yang lewat
Yang jemari kakikakinya masih saja menuliskan masa lalu dan ingat
Celah-celah renta di titik tinggi tepi pagi tertulis :
: Ooh, aku memang tak mau melupakan mentary
kbm,160509
21.39
Monday, April 20, 2009
Monolog
Saya benci mati lampu..
saya benci saat kata-kata sembunyi di kegelapan selasar bawah kasur
Saya benci warna tembok yang biru
warna biru yang selalu bisu, selalu ungu
Saya benci siang hari..
saat mentary datang pergi di sebalik jalan setapak kaki dan kaki
Selasar bawah kasur bukan tempat mengadu kalimat-kalimat atau mantra yang sekedar lewat
Karena itu saya benci..
Saya benci hujan..
menurut awan hujan hanya milik orang-orang aneh
karena awan tidak pernah senang menjadi mendung
Saya benci kopi..
larutan hitam serta manis buatan tangan
lalu 20 kali jampi putaran kearah kiri
getir
melawan waktu
Endapan huruf dan simbol yang tak pernah tercatat memang seharusnya disapu hujan
agar kopi yang saya benci tidak semakin terasa pahit
Saya benci kamar mandi..
benci ritual yang sama setiap pagi
sedang air tak pernah memberi sepotong isyarat pun tentang warna hatinya
apakah dingin atau hangat
Saya benci tidur malam..
tidur tanpa sempat mencatat semua kalimat
lalu bangun pagi bersama ramalan cuaca yang itu-itu saja
Saya benci selain puisi..
selain ruang-ruang sunyi
kbm, 240409
saya benci saat kata-kata sembunyi di kegelapan selasar bawah kasur
Saya benci warna tembok yang biru
warna biru yang selalu bisu, selalu ungu
Saya benci siang hari..
saat mentary datang pergi di sebalik jalan setapak kaki dan kaki
Selasar bawah kasur bukan tempat mengadu kalimat-kalimat atau mantra yang sekedar lewat
Karena itu saya benci..
Saya benci hujan..
menurut awan hujan hanya milik orang-orang aneh
karena awan tidak pernah senang menjadi mendung
Saya benci kopi..
larutan hitam serta manis buatan tangan
lalu 20 kali jampi putaran kearah kiri
getir
melawan waktu
Endapan huruf dan simbol yang tak pernah tercatat memang seharusnya disapu hujan
agar kopi yang saya benci tidak semakin terasa pahit
Saya benci kamar mandi..
benci ritual yang sama setiap pagi
sedang air tak pernah memberi sepotong isyarat pun tentang warna hatinya
apakah dingin atau hangat
Saya benci tidur malam..
tidur tanpa sempat mencatat semua kalimat
lalu bangun pagi bersama ramalan cuaca yang itu-itu saja
Saya benci selain puisi..
selain ruang-ruang sunyi
kbm, 240409
Friday, April 17, 2009
gaib
kami menggalibkan setiap yg gaib
dan memusnahkan apa yang ditelaah maupun yang berada ditengah-tengah
setiap kami bermain di langit-langit matahari,kami selalu bertemu mentary,selalu datang dan pergi
seperti jembalang gaib di langit-langit kepala kami,yang telah kami galibkan jg muncul dan hilangnya
dan memusnahkan apa yang ditelaah maupun yang berada ditengah-tengah
setiap kami bermain di langit-langit matahari,kami selalu bertemu mentary,selalu datang dan pergi
seperti jembalang gaib di langit-langit kepala kami,yang telah kami galibkan jg muncul dan hilangnya
Monday, March 30, 2009
Mencatat Masa Lalu
:eya
(i)
Antara aku dan masa lalu
Fragmen kenangan dan lukisan tentang engkau
Ooh, memang kenangan itu sebutir debu
Hanya sebutir debu
Senyawa yang lindap senyap benar
Ooh, aku dan engkau tak tahu
Hujan masih sama saja
Pun halte bus atau toko buku
Dan cerita tentang bangku taman sekolah masih tertinggal
Namun mulai buram
Sejak senja menerpanya dalamdalam
Ooh, senja yang karam
(ii)
Selama arlojiku mengeluarkan digit detik-detiknya
Masa lalu ikut berputar tak karuan
Pun kenangan, baru saja selesai kau lukiskan
Pun engkau, baru saja penyap dikenangkan
Masa depan baru saja tertinggal
hanya tertinggal
Dan cerita-cerita malam habis juga kita anyam
Tentang mata hati yang ditangkap angin
Pagi mati yang bertemu debu
Serta perjalanan senja yang tak tahu soal aku dan engkau
(iii)
Ketika aku terbangun
Arlojiku senyap dibingkai gelap
Masa lalu dan kenangan telah selesai kau lukiskan
Sama seperti perjalanan debu
Dalam senja bertemu engkau dan aku
kbm, 300309
00.35
(i)
Antara aku dan masa lalu
Fragmen kenangan dan lukisan tentang engkau
Ooh, memang kenangan itu sebutir debu
Hanya sebutir debu
Senyawa yang lindap senyap benar
Ooh, aku dan engkau tak tahu
Hujan masih sama saja
Pun halte bus atau toko buku
Dan cerita tentang bangku taman sekolah masih tertinggal
Namun mulai buram
Sejak senja menerpanya dalamdalam
Ooh, senja yang karam
(ii)
Selama arlojiku mengeluarkan digit detik-detiknya
Masa lalu ikut berputar tak karuan
Pun kenangan, baru saja selesai kau lukiskan
Pun engkau, baru saja penyap dikenangkan
Masa depan baru saja tertinggal
hanya tertinggal
Dan cerita-cerita malam habis juga kita anyam
Tentang mata hati yang ditangkap angin
Pagi mati yang bertemu debu
Serta perjalanan senja yang tak tahu soal aku dan engkau
(iii)
Ketika aku terbangun
Arlojiku senyap dibingkai gelap
Masa lalu dan kenangan telah selesai kau lukiskan
Sama seperti perjalanan debu
Dalam senja bertemu engkau dan aku
kbm, 300309
00.35
Monday, March 9, 2009
Melukis Kenangan
:eya
(i)
Siapa butuh masa depan
Aku tak butuh apapun karena arlojiku
sudah masa depan yang paling depan
Lukiskan saja aku (dan engkau) tentang kenangan
Tentang hujan, halte bus ataupun toko buku
Mungkin bangku taman sekolah yang resah
Kau pernah bercerita padaku tentang masa depan
Soal kapan telapak kaki kita menjadi malam
Dan ingatan, serta rindu yang tak bernama
Namun aku tak mau terlalu banyak masa depan
Karena aku tak bisa bertemu kenangan
Yang hampir saja selesai kau lukiskan
(ii)
Di tepi malam ini aku bertemu masa lalu
Saat itu arlojiku mati
Mungkin terbaring sebentar
setelah lelah mengeluarkan ribuan digit detik
Wajah masa lalu seperti kenangan
yang hampir saja selesai kau lukiskan
Masih tetap penuh dengan warna biru
Namun tampak lebih mentary daripada pagi
Bila hari ini telah selesai semua malam-malam yang kau ceritakan
Aku ingin beranjak ke senja saja
Tempat dulu pernah kita butakan mata, hati, kaki kita
telinga, dada, pagi, mati kita
Lalu kita hamburkan kata-kata agar angin menangkapnya
Ataupun jatuh ke debu bertemu apa yang aku dan engkau tak tahu
(iii)
Ketika arlojiku terbangun
Aku gagap dilahap senyap
Masa depan dan engkau telah selesai dilukis oleh masa lalu
Sama seperti sisa kata-kata kita yang jatuh ke debu
Yang aku dan engkau tak tahu
smg, 070309
20.55
(i)
Siapa butuh masa depan
Aku tak butuh apapun karena arlojiku
sudah masa depan yang paling depan
Lukiskan saja aku (dan engkau) tentang kenangan
Tentang hujan, halte bus ataupun toko buku
Mungkin bangku taman sekolah yang resah
Kau pernah bercerita padaku tentang masa depan
Soal kapan telapak kaki kita menjadi malam
Dan ingatan, serta rindu yang tak bernama
Namun aku tak mau terlalu banyak masa depan
Karena aku tak bisa bertemu kenangan
Yang hampir saja selesai kau lukiskan
(ii)
Di tepi malam ini aku bertemu masa lalu
Saat itu arlojiku mati
Mungkin terbaring sebentar
setelah lelah mengeluarkan ribuan digit detik
Wajah masa lalu seperti kenangan
yang hampir saja selesai kau lukiskan
Masih tetap penuh dengan warna biru
Namun tampak lebih mentary daripada pagi
Bila hari ini telah selesai semua malam-malam yang kau ceritakan
Aku ingin beranjak ke senja saja
Tempat dulu pernah kita butakan mata, hati, kaki kita
telinga, dada, pagi, mati kita
Lalu kita hamburkan kata-kata agar angin menangkapnya
Ataupun jatuh ke debu bertemu apa yang aku dan engkau tak tahu
(iii)
Ketika arlojiku terbangun
Aku gagap dilahap senyap
Masa depan dan engkau telah selesai dilukis oleh masa lalu
Sama seperti sisa kata-kata kita yang jatuh ke debu
Yang aku dan engkau tak tahu
smg, 070309
20.55
Tuesday, February 24, 2009
Kidung Tidur
Biasanya kami menyerah setelah semua malam kami lelah dan berseru ingin terlebih dahulu tetirah yang kami anggap sebagai waktu untuk hinggap di pagi-pagi yang senyap hingga kami hiraukan setiap tik-tok jam ataupun warna-warni dinding kamar tempat badan tubuh malam kami rebah sedang kemarin hari kami berjalan di tiap undakan tanah sewarna merah berumput hijau dan cahaya kami kuning mentari sembari mencari apa yang halal bagi hidup serta tidur kami seperti arus angin dan air kali yang terbang mengalir mengikuti matahari di sela-sela musim-musim yang berganti dari gugur menjadi semi lalu panas menuju dingin yang tak bertepi sedemikian sunyi segelap malam kami saat hendak membangun para mimpi ataupun dinding berjam tik-tok di kamar warna-warni kami namun perlahan kami mulai meraba dinding untuk sebuah tidur yang masih terlalu pagi.
kbm, 240208
23.00
kbm, 240208
23.00
Subscribe to:
Posts (Atom)